Mulla Sadra di Antara Sains & Agama

cincin-debu-di-sekitar-bintang

Berbeda dengan mainstream paradigma filsafat Barat, Mulla Sadra menempatkan sains dan agama tidak dalam posisi “konflik”. Memang, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran sendiri, namun kebenaran yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. Inilah basis ikhtiar intelektual dan spiritual filsafat Mulla Sadra dalam upayanya untuk menemukan kebenaran sains dan agama yang bersifat kooperatif alias saling mendukung. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak menolak rasionalisme dan empirisisme sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran, selain ia juga menambahkan metode sufistik (‘irfan) untuk mencapai kebenaran hakiki.

Dalam hal ini, dapatlah dikatakan bahwa Mulla Shadra melakukan sintesis terhadap sumber pengetahuan yang meliputi iluminasi intelektual (kasyf, zauq atau isyraq), penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, burhan, atau istidlal) dan agama atau wahyu (syar’ atau wahy). Sejalan dengan pilihan metodis dan peradigmanya tersebut, kebenaran sains dan agama dianalogikan sebagaimana sinar yang ‘satu’ yang menyinari suatu ruangan yang memiliki jendela dengan beragam warna. Setiap jendela akan memancarkan warna yang bermacam-macam sesuai dengan warna kacanya.

Demikianlah ia menggambarkan bahwa kebenaran berasal dari Yang Satu, dan tampak muncul beragam kebenaran tergantung sejauh mana manusia mampu menangkap kebenaran itu. Kebenaran yang ditangkap ilmuwan hanyalah sebagian yang mampu ditangkap dari kebenaran Tuhan. Begitu pula kebenaran yang ditangkap oleh agamawan. Dengan demikian, kebenaran yang ditangkap ilmuwan dan agamawan bersifat komplementer, saling melengkapi.

Secara historis dan biografis, Mulla Sadra adalah tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo Galilei. Artinya, ketika di Barat sedang terjadi kebuntuan pemahaman tentang sains dan agama, Mulla Sadra telah mempunyai konsep yang cemerlang untuk menjawab kebuntuan tersebut. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sangat kontras karena di Barat sedang terjadi konfrontasi antara sains dan agama, sementara di dunia Islam sendiri, yang dalam hal ini filsafat Mulla Sadra, hubungan sains dan agama justru mengalami penguatan, saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain.

Sebagai bagian dari fragmentasi perkembangan pemikiran Islam, filsafat Mulla Sadra secara cerdas dan jernih menempatkan kedudukan sains dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah tentunya apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran Islam terjadi manakala agama secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan sains. Agama bukan penghambat perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di Barat tetapi justru merupakan pendorong sekaligus ruh bagi karakteristik keilmuan Islam. Bukankah banyak ayat-ayat al Qur’an sendiri yang menyerukan agar manusia berpikir dan membaca dirinya, lingkungannya, dan semesta di mana ia hidup?

Sayangnya, di dunia Islam (di luar kawasan Persia), masyarakat muslim malah memilih suatu mazhab yang menentang dan memusuhi fislafat, sehingga fakta yang terjadi di dunia Islam justru kebalikan dari yang terjadi di Barat, di mana Barat yang dulu terbelakang kini malah menguasai jagat sains dan cakrawala pengetahuan. Suatu kenyataan yang pastilah akan membuat Mulla Sadra bersedih-hati.

semesta2

space-shuttle-atlantis-launch